Peranan Perbankan Menghadapi Pasar Bebas ASEAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belum kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat
ini, mendorong pemerintah untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM). Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi
peluang bagi UMKM untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih
cenderung menggunakan modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang
tidak dapat diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda
penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi
banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia
yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi
(Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah
keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan
misi yang belum mantap.
Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income
gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
merupakan usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif
sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan
modal usaha dengan kebutuhan pribadi. Pemberdayaan UMKM di tengah arus
globalisasi dan tingginya persaingan membuat UMKM harus mampu mengadapai
tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan jasa, pengembangan
sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area pemasaran. Hal ini
perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu sendiri, utamanya agar dapat
bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri sentra industri dan
manufaktur di Indonesia, mengingat UMKM adalah sektor ekonomi yang mampu
menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto, 2011). Pada tahun 2011
UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan negara dengan menyumbang 61,9
persen pemasukan produk domestik bruto (PDB) melalui pembayaran pajak, yang
diuraikan sebagai berikut : sektor usaha mikro menyumbang 36,28 persen PDB,
sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7 persen melalui
pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya menyumbang 38,1
persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).3 Sebagian besar (hampir 99
persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di sektor informal dan pada
umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal. Itulah sebabnya tidak
terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan World Economic Forum
(WEF) 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke-15. Hal ini menunjukkan
bahwa Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi negara lain. Potensi ini yang
belum dimanfaatkan oleh UMKM secara maksimal.
Perkembangan UMKM di Indonesia
masih dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga menyebabkan lemahnya daya
saing terhadap produk impor. Persoalan utama yang dihadapi UMKM, antara lain
keterbatasan infrastruktur dan akses pemerintah terkait dengan perizinan dan
birokrasi serta tingginya tingkat pungutan. Dengan segala persoalan yang ada,
potensi UMKM yang besar itu menjadi terhambat. Meskipun UMKM dikatakan mampu
bertahan dari adanya krisis global namun pada kenyataannya
permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat banyak dan lebih berat. Hal itu
dikarenakan selain dipengaruhi secara tidak langsung krisis global tadi, UMKM
harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung terselesaikan seperti
masalah upah buruh, ketenaga kerjaan dan pungutan liar, korupsi dan lain-lain.
Permasalahan lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang secara efektif telah berlaku tahun 2010. Disisi lain, Pemerintah telah menyepakati perjanjian kerja sama ACFTA ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai contoh kesiapan kualitas produk, harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan kurang jelasnya peta produk impor sehingga positioning persaingan lebih jelas. Kondisi ini akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya ASEAN Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan, UMKM yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan bangkrut juga.
Permasalahan lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang secara efektif telah berlaku tahun 2010. Disisi lain, Pemerintah telah menyepakati perjanjian kerja sama ACFTA ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai contoh kesiapan kualitas produk, harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan kurang jelasnya peta produk impor sehingga positioning persaingan lebih jelas. Kondisi ini akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya ASEAN Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan, UMKM yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan bangkrut juga.
Oleh
karena itu, dalam upaya memperkuat UMKM sebagai fundamental ekonomi nasional,
perlu kiranya diciptakan iklim investasi domestik yang kondusif dalam upaya
penguatan pasar dalam negeri agar UMKM dapat menjadi penyangga (buffer)
perekonomian nasional. Masalah lain yang dihadapi dan sekaligus menjadi
kelemahan UMKM adalah kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar
(Ishak, 2005). Hal tersebut 4 menjadi kendala dalam hal memasarkan
produk-produknya, karena dengan terbatasnya akses informasi pasar yang
mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya saing di tingkat
global. Miskinnya informasi mengenai pasar tersebut, menjadikan UMKM tidak
dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara jelas dan fokus, sehingga
perkembangannya mengalami stagnasi. Kemampuan UMKM dalam menghadapi terpaan
arus persaingan global memang perlu dipikirkan lebih lanjut agar tetap mampu
bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia. Selain itu faktor sumber daya
manusia di dalamnya juga memiliki andil tersendiri. Strategi pengembangan UMKM
untuk tetap bertahan dapat dilakukan dengan peningkatan daya saing dan
pengembangan sumber daya manusianya agar memiliki nilai dan mampu bertahan
menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui penyaluran perkreditan (KUR),
penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan lembaga keuangan mikro melalui
capacity building, dan pengembangan information technology (IT).
Demikian juga
upaya-upaya lainnya dapat dilakukan melalui kampanye cinta produk dalam negeri
serta memberikan suntikan pendanaan pada lembaga keuangan mikro. Keuangan mikro
telah menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak pihak menjadi
metode untuk mengatasi kemiskinan (ref). Berbagai lembaga multilateral dan
bilateral mengembangkan keuangan mikro dalam berbagai program kerjasama.
Pemerintah di beberapa negara berkembang juga telah mencoba mengembangkan
keuangan mikro pada berbagai program pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat
juga tidak ketinggalan untuk turut berperan dalam aplikasi keuangan mikro
(Prabowo dan Wardoyo, 2003).
1.2 Perumusan Masalah
Pasar bebas ASEAN yang akan efektif diberlakukan pada tahun 2015 merupakan titik rawan perjuangan UMKM dan ekonomi kerakyatan. Berbagai kemudahan perdagangan antar negara seperti pembebasan bea impor dan kemudahan birokrasi akan mendorong meningkatnya impor komoditas ke negara-negara ASEAN. Iklim perdagangan tidak hanya akan didominasi oleh negara-negara ASEAN saja, akan tetapi juga perlu dipertimbangkan kehadiran China dengan produk-produknya yang memiliki daya saing tinggi dilihat dari harga dan kandungan teknologi. Oleh karena itu dibutuhkan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan sumber daya manusia khususnya untuk menghadapi pasar bebas ACFTA.
1.2 Perumusan Masalah
Pasar bebas ASEAN yang akan efektif diberlakukan pada tahun 2015 merupakan titik rawan perjuangan UMKM dan ekonomi kerakyatan. Berbagai kemudahan perdagangan antar negara seperti pembebasan bea impor dan kemudahan birokrasi akan mendorong meningkatnya impor komoditas ke negara-negara ASEAN. Iklim perdagangan tidak hanya akan didominasi oleh negara-negara ASEAN saja, akan tetapi juga perlu dipertimbangkan kehadiran China dengan produk-produknya yang memiliki daya saing tinggi dilihat dari harga dan kandungan teknologi. Oleh karena itu dibutuhkan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan sumber daya manusia khususnya untuk menghadapi pasar bebas ACFTA.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Capacity Building
Secara umum capacity building adalah proses atau kegiatan memperbaiki kemampuan seseorang, kelompok, organisasi atau sistem untuk mencapai tujuan atau kinerja yang lebih baik (Brown et. al, 2001). Capacity building adalah pembangunan keterampilan (skills) dan kemampuan (capabilities), seperti kepemimpinan, manajemen, keuangan dan pencarian dana, program dan evaluasi, supaya pembangunan organisasi efektif dan berkelanjutan. Ini adalah proses membantu individu atau kelompok untuk mengidentifikasi dan menemukan permasalahan dan menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan melakukan perubahan. (Campobaso dan Davis, 2001)Capacity building difasilitasi melalui penetapan kegiatan bantuan teknik, meliputi pendidikan dan pelatihan, bantuan teknik khusus (specific technical assitance) dan penguatan jaringan. Prinsip yang perlu diterapkan adalah membangun keberdayaan ekonomi rakyat melalui pengembangan kapasitas (capacity building), mencakup :
1) kelembagaan;
2)pendanaan,
3) pelayanan.
Di samping itu masalah internal yang harus dihadapi adalah masalah efisiensi, keterbatasan SDM dan teknologi (Krisnamurthi, 2002).
2.2 Pasar Bebas Asean dan ACFTA (Asean China Free
Trade Area)
Pasar bebas Asean akan diberlakukan pada tahun 2015.
Hal ini menjadikan pemerintah Indonesia terus meningkatkan berbagai strategi
untuk menghadapinya.
Demikian juga, sejak disepakatinya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010 mengharuskan pemerintah Indonesia. Pertama, apakah pemerintah Indonesia untuk melakukan sosialisasi terhadap publik mengenai kesepakatan ACFTA. Disamping itu pemerintah Indonesia diharapkan memiliki strategi besar untuk menghadapi ACFTA. Terkait dengan persepsi publik terhadap kesepakatan ACFTA.
Demikian juga, sejak disepakatinya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010 mengharuskan pemerintah Indonesia. Pertama, apakah pemerintah Indonesia untuk melakukan sosialisasi terhadap publik mengenai kesepakatan ACFTA. Disamping itu pemerintah Indonesia diharapkan memiliki strategi besar untuk menghadapi ACFTA. Terkait dengan persepsi publik terhadap kesepakatan ACFTA.
Sosialisasi penting untuk dijadikan
sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia sebelum ACFTA diberlakukan.
Dalam surveinya, LSI mengajukan beberapa pertanyaan terhadap publik menyangkut
ACFTA. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa hanya sebagian kecil saja
publik Indonesia yang mengetahui atau pernah mendengar kesepakatan/perjanjian
perdagangan bebas ASEAN-China yang mulai berlaku pada 1 Januari 2010, terdapat
26,711 persen publik yang pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan
bebas ASEAN-China. Dari mereka yang pernah mendengar mengenai kesepakatan
perdagangan bebas ASEAN-China, mayoritas publik (51,9 persen) mengatakan tidak
setuju dengan kesepakatan perdagangan bebas.
Ternyata temuan survei LSI tersebut menunjukkan bahwa publik cenderung mempersepsikan berlakunya ACFTA secara negatif. Publik menilai adanya perdagangan bebas ASEAN-China justru dapat membahayakan pasar dalam negeri dan ini jelas dapat merugikan neraca perdagangan Indonesia. Artinya China yang justru diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas dan bukan Indonesia. Hal penting berikutnya terkait dengan kesiapan atau strategi besar pemerintah Indonesia menghadapi ACFTA. Dalam hal ini tampak bahwa pemerintah Indonesia sama sekali tidak mempersiapkan dirinya secara matang. Sebagaimana diakui oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai strategi besar dalam menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China(ACFTA).
Ternyata temuan survei LSI tersebut menunjukkan bahwa publik cenderung mempersepsikan berlakunya ACFTA secara negatif. Publik menilai adanya perdagangan bebas ASEAN-China justru dapat membahayakan pasar dalam negeri dan ini jelas dapat merugikan neraca perdagangan Indonesia. Artinya China yang justru diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas dan bukan Indonesia. Hal penting berikutnya terkait dengan kesiapan atau strategi besar pemerintah Indonesia menghadapi ACFTA. Dalam hal ini tampak bahwa pemerintah Indonesia sama sekali tidak mempersiapkan dirinya secara matang. Sebagaimana diakui oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai strategi besar dalam menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China(ACFTA).
Meskipun pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk
melakukan renegosiasi untuk 228 pos tarif produk yang berpotensi injuries agar
pengenaan bebas bea masuk dapat ditunda pelaksanaanya, namun hal itu tidak
berjalan dan Indonesia terpaksa harus terus berjalan dengan mekanisme ACFTA.
Akibatnya adalah enam produk terkena dampak langsung (injuries) karena
ACFTA, yaitu industri tekstil dan produk tekstil/TPT, makanan dan minuman,
elektronik, alas kaki, kosmetik, serta industri jamu.
2.3 Peningkatan Daya Saing Produk Indonesia
Menurut Organisation for Economic Co-operation
and Development (OECD)
menyebutkan bahwa daya saing adalah kemampuan
perusahaan, industri, daerah,
negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor
pendapatan dan faktor pekerjaan
yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk
menghadapi persaingan internasional.
Oleh karena daya saing industri merupakan fenomena di
tingkat mikro perusahaan, maka
kebijakan pembangunan industri nasional didahului
dengan mengkaji sektor industri
secara utuh sebagai dasar pengukurannya. Sedangkan
menurut Tambunan, 2001, tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan
internasional, pada dasarnya amat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor
keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor
keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Lebih lanjut,
faktor keunggulan komparatif dapat dianggap ebagai faktor yang bersifat alamiah
dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai
faktor yang bersifat acquired atau
dapat dikembangkan/diciptakan. Selain dua faktor
tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya
juga dipengaruhi oleh apa yang
disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA)
atau keunggulan daya saing
berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi
tingkat persaingan global yang
semakin lama menjadi sedemikian ketat/keras atau Hyper
Competitive.
Analisis Persaingan yang super ketat (Hyper
Competitive Analysis) menurut
D’Aveni dalam (Hamdy, 2001), merupakan analisis yang
menunjukkan bahwa pada
akhirnya setiap negara akan dipaksa memikirkan atau
menemukan suatu strategi yang
tepat, agar negara/perusahaan tersebut dapat tetap
bertahan pada kondisi persaingan
global yang sangat sulit. Menurut Hamdy Hadi, strategi
yang tepat adalah strategi SCA
(Sustained Competitive Advantage Strategy) atau
strategi yang berintikan upaya
perencanaan dan kegiatan operasional yang terpadu,
yang mengkaitkan 5 lingkungan
eksternal dan internal demi pencapaian tujuan jangka
pendek maupun jangka panjang,
dengan disertai keberhasilan dalam
mempertahankan/meningkatkan sustainable real
income secara efektif dan efisien.
Menurut The
Global Competitiveness Report, tahun 2011 peringkat daya saing Indonesia
mengalami penurunan menjadi 46 dibanding tahun 2010 yang berada di posisi Hal
ini menuntut perlunya dilakukan kaji ulang terhadap kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Kementerian dan lembaga yang
membidangi setiap pilar dan indikator yang mengalami penurunan peringkat perlu
bekerja lebih dari biasa untuk menaikkan peringkat pada masing-masing indikator
dan pilar daya saing tersebut. Selain itu, berbagai faktor umum yang menghambat
peningkatan daya
2.4 Agency Theory
Aplikasi agency theory dapat terwujud
dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing
pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak
kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil,
baik yang berupa keuntungan, returnmaupun risiko-risiko yang
disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila
kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara
prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban
yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan
dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori
keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan
prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997); (Loudon
and Loudon, 2007). Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3
(tiga) buah asumsi yaitu: (a) asumsi tentang sifat manusia, (b) asumsi tentang
keorganisasian, dan (c) asumsi tentang informasi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Posisi UMKM Dalam Pasar Bebas Asean
Dalam rangka menuju Pasar Bebas Asean 2015, masih
banyak peluang UMKM untuk meraih pangsa pasar dan peluang investasi. Guna
memanfaatkan peluang tersebut, maka tantangan yang terbesar bagi UMKM di
Indonesia menghadapi Pasar Bebas Asean adalah bagaimana mampu menentukan
strategi yang tepat guna memenangkan persaingan. Saat ini, struktur ekspor
produk UMKM Indonesia banyak berasal dari industri pengolahan seperti
furniture, makanan dan minuman, pakaian jadi atau garmen, industri kayu dan
rotan, hasil pertanian terutama perkebunan dan perikanan, sedangkan di sektor
pertambangan masih sangat kecil (hanya yang berhubungan dengan yang batubatuan,
tanah liat dan pasir).
Secara rinci barang ekspor UMKM antara lain alat-alat
rumah tangga, pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya dari kulit,
kerajinan dari kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang
dari rotan, pengolahan ikan, mebel, sepatu atau alas kaki kulit, arang
kayu/tempurung, makanan ringan dan produk bordir. Sedangkan bahan baku produksi
UMKM yang digunakan adalah bahan baku lokal sisanya dari impor seperti plastik,
kulit dan beberapa zat kimia.
Beberapa kendala UMKM yang banyak dialami negara-negara berkembang termasuk Indonesia antara lain adalah masalah kurangnya bahan baku yang mesti harus diimpor dari negara lain untuk proses produksi. Disamping itu pemasaran barang, permodalan, ketersediaan energi, infrastruktur dan informasi juga merupakan permasalahan yang sering muncul kemudian, termasuk masalah-masalah non fisik seperti tingginya inflasi, skill, aturan perburuhan dan lain sebagainya. Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan kendala-kendala yang sering dialami negara Asean termasuk Indonesia.
Beberapa kendala UMKM yang banyak dialami negara-negara berkembang termasuk Indonesia antara lain adalah masalah kurangnya bahan baku yang mesti harus diimpor dari negara lain untuk proses produksi. Disamping itu pemasaran barang, permodalan, ketersediaan energi, infrastruktur dan informasi juga merupakan permasalahan yang sering muncul kemudian, termasuk masalah-masalah non fisik seperti tingginya inflasi, skill, aturan perburuhan dan lain sebagainya. Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan kendala-kendala yang sering dialami negara Asean termasuk Indonesia.
3.2 Pentingnya Pemberdayaan UMKM
Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta
orang (menurut sensus 2010), ternyata hanya 0,24 persen adalah para wirausaha
(interpreneur), atau hanya sekitar 400.000 orang yang berkecimpung dalam dunia
usaha atau UMKM. Padahal agar perekonomian Indonesia dapat berkembang lebih
cepat diperlukan lebih dari 2 persen dari jumlah penduduk sebagai wirausaha
atau berkecimpung dalam UMKM. Singapura, sebuah negara kecil namun mempunyai 7
persen dari jumlah penduduknya merupakan wirausaha dan mempunyai banyak UMKM.
Sedangkan Malaysia, lebih dari 2 persen jumlah penduduknya merupakan para
interpreneur yang berkecimpung dalam berbagai usaha mikro.
BAB IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Strategi untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam
penyaluran kredit. Saat ini skim kredit yang sangat familiar di masyarakat
adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dengan
kategori usaha layak, tanpa agunan. Selain itu penguatan lembaga pendamping
UMKM dapat dilakukan melalui kemudahan akses serta peningkatan capacity
building dalam bentuk pelatihan dan kegiatan penelitian yang menunjang
pemberian kredit kepada UMKM.
2. Strategi untuk mengantisipasi mekanisme pasar yang
makin terbuka dan kompetitif khususnya di kawasan Asean adalah penguasaan
pasar, yang merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing UMKM. Agar dapat
menguasai pasar, maka UMKM perlu mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat,
baik informasi mengenai pasar produksi maupun pasar faktor produksi untuk
memperluas jaringan pemasaran produk yang dihasilkan oleh UMKM. Aplikasi
teknologi informasi pada usaha mikro, kecil dan menengah akan mempermudah UMKM
dalam memperluas pasar baik di dalam negeri maupun pasar luar negeri dengan
efisien. Pembentukan Pusat Pengembangan UMKM berbasis IT dianggap mampu
mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di era
teknologi informasi saat ini.
4.2 Saran
1. Untuk meningkatkan daya saing diperlukan sinergi
antara peran pemerntah selakupembuat kebijakan serta lembaga pendamping,
khususnya lembaga keuangan mikro untuk mempermudah akses perkreditan dan
perluasan jaringan informasi pemasaran. Selain itu, budaya mencintai produksi
dalam negeri juga perlu dipupuk agar UMKM berkembang dan perekonomian nasional
menjadi lebih kuat.
2. Pelaku usaha mikro, kecil dan menengah perlu aktif
untuk bekerjasama dan berkoordinasi dengan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah
untuk terus melakukan pembinaan dan pelatihan melalui peningkatan capacity
building dan penerapan aplikasi information technology (IT), termasuk
mengefektifkan kembali web Pemda-Pemda saat ini yang tidak optimal sebagai
basis komunikasi UMKM di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2011. Five Finger
Philosophy:Upaya Memberdayakan UMKM,
kses 3 oktober 2011)
BPS. 2011. Produk Domestik Bruto. (online),
(http://www.bps.go.id/index.php?news=730,
diakses 12 oktober 2011
Djunaedi, Achmad. 2000. Pedoman Penulisan
Tinjauan Pustaka. Yogyakarta : Pascasarjana UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar